NAMA : DEWI PUSPITA NINGRUM
NIM : 1614015009
FAKULTAS/PRODI : ILMU BUDAYA “SASTRA INDONESIA” UNIVERSITAS
MULAWARMAN
- Pendahuluan
Pada hari
minggu tepatnya tanggal 09 April 2017 kami dari prodi Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Mulawarman melakukan perjalanan bersama ke Samarinda
Seberang untuk melihat makam La Mohang Daeng Mangkona yang saat ini telah
menjadi monumen di Cagar Budaya dan sudah di kenal secara Nasonal, akan tetapi
masih yang belum banyak mengetahui siapa itu La Mohang Daeng Mangkona. Kami
mulai melakukan perjalanan tepatnya pada Pukul 10.10 WITA bersama dosen kami
bapak Dahri Dahlan. Kami melakukan perjalanan dengan mengendarai kendaraan roda
dua yang oang biasa menyebutnya dengan sepeda Motor, kami sangat berantusias
sekali untuk melihat Makam La Mohang Daeng Magkona dan di jalan saya sempat
melihat Masjid Tua “Masjid Shirathal Mustaqiem” yang sangat keren
bangunannya.
Dan
sesampainya kami di sana kami di sambut ramah oleh Juru Kunci disana yaitu
bapak Abdillah yang merupakan juru kunci ketiga di pemakaman itu karenya yang
pertama adalah seorang kakek yang bernama Suryansyah dan kemudian di lanjutkan
oleh anaknya yang bernama Mohammad Toha yang kebetulan adalah bapak dari Juru kunci
yang ketiga yaitu bapak Abdillah.
Baiklah
langsung saja ke pembahasan inti mengenai Sejarah Kota Samarinda dan Sejarah Perantauan
La Mohang Daeng Mangkona bersama pasukannya dari Wajo.
A. LINTASAN
SEJARAH SAMARINDA
Kota Samarinda
tumbuh dari tiga kampung pemukiman suku Kutai Puak Melati yaitu kampung
Mangkupalas, Karamumus dan Karang Asam. Ketiga kampung ini bergabung dengan
Kelurahan Ulu dusun di Kutai lama dibawah pimpinan Ngabehi Ulu. Sejak abad
ke-14 ketiga kampung itu memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari kerajaan
Gowa di Sulawesi Selatan, akan tetapi sesudah kekalahan kerajaan Makassar itu
tahun 1667 atau sesudah perjanjian Bungaya (1662) pengaruh Makassar
berangsur-angsur berkurang di Kalimantan Timur.
Pada tahun
1668 orang Bugis dari Sulawesi Selatan mulai bermukiman di Kutai. Pada
permulaan abad ke-18 berdatangan pendatang baru Bugis Wajo di bawah pimpinan La
Mohang Daeng Mangkona, pengikut La Maddukelleng Putra Arung Paneki dari daerah
Wajo. La Mohang menghadap Raja Arung Paneki dari daerah Wajo. La Mohang
menghadap Raja Kutai Lama Ali Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martapura
( marhum pamarangan 1730-1732) untuk
mohon izin agar mereka di perbolehkan berdiam di wilayah kerajaan Kutai. Raja
memberi izin mereka berdiam di daerah Kutai tetapi harus mencari permukiman di
sekitar sungai Mahakam, di antara dua dataran rendah. Orang-rang Wajo akhirnya
menemukan tempat itu dan menamakannya “ samarendah” yang dari dua kata, “ sama”
dan “rendah”.
Setelah
pemerintah kolonial Belanda mematahkan perlawanan Sultan Salehuddin dari
kerajaan Kutai tahun 1844, gubernemen Belanda menempatkan asisten Residen H.
Von De Wall ke Samarinda Kota, yakni sesudah tempat itu dijadikan daerah langsung
berada di bawah perintah gubernemen atau Vierkante Paal tahun 1896.
Selain menjadi pusat pemerintahan Kalimantan Timur, gubernemen Belanda juga
menjadikan Samarinda sebagai Kota Pelabuhan daerah Kutai dan sekitarnya.
Pada zaman
NICA (1946-1949) Samarinda merangkap menjadi tiga ibukota pemerintahan yaitu
pemerintahan keresidenan, pemerintah Federasi Kalimantan Timur dan pemerintahan
kawedanaan. Sebelas tahun sesudah proklamasi kemerdekaan, yaitu januari 1957,
Kalimantan Timur memperoleh status provinsi dan Samarinda terpilih menjadi ibu
kotanya. Pada tahun 1960 Samarinda menjadi Kotapraja dan tahun 1969 dijadikan
Kotamadya.
Beberapa
faktor yang menyebabkan kota Samarinda berkembang dengan pesat antara lain
ialah letaknya yang strategis, kekayaan sumber alamnya baik di daerah pedalaman
maupun di sekitarnya terutama di sektor perkayuan, minyak dan gas bumi,
sehingga Samarinda menjadi Kota penghasil Devisa terbesar kedua sesudah Medan,
Sumatera Utara.
Samarinda yang
menjadi ibu kota propinsi Kalimantan Timur dan ibu kota Kotamadya Samarinda
yang di diami bermacam-macam suku Bangsa. Mereka melakukan kegiatan pada
berbagai aspek kehidupan yang akan diuraikan dalam sejarah kota ini.
B.
Perdagangan di Masa voc (sampai dengan 1799)
Pada zaman VOC
orang Belanda telah mencoba mengadakan perhubungan dengan Kutai dan Pasir.
Konak pertama antara Kutai dan Pasir dengan VOC terjadi pada tahun 1934. Selain
urusan perdagangan dan mengusir pedagang-pedagang Makassar dan Jawa dari kedua
kerajaan itu (J.Eisenberger 1936:9).
Usaha kompeni
mengajak Kutai dan Pasir untuk mengadakan monopoli perdagangan ternyata tidak
membawa hasil karena kerajaan Gowa sudah sejak tahun 1620 mempunyai hubungan
baik dengan raja-raja Kutai.
Pada tahun
1635 di bawah pimpinan Gerrit Thomassen untuk kedua kalinya Belanda mengirim
misi perdagangannya. Di Kutai , Gerrit Thomassen bertemu dengan Sultan Sinom
Panji Mendapa Ing Martaoura. Mereka membicarakan monopoli dagang mengingat
kewajiban Sultan Kutai harus membayar upeti kepada raja Banjarmasin (J.
eisenberger 1936: 7)
Pembicaraan G.
Thomsassen Pool yang sengaja membuat raja Kutai dan Pasir tidak senang dan
bertujuan mengadu domba raja-raja di Kalimantan Timur dan Banjarmasin, membuat
misi perdagangan VOC gagal. Sementara itu kompeni belum mampu menyaingi
pengaruh Gowa dan Mataram di Selat Makassar, upaya untuk “ menjinakkan “ raja
Kutai dan Pasir kembali diusahakan.
Pada tahun
1671, empat tahun sesudah perjanjian Bongaya, kompeni mengirim lagi misi
perdagangan yang dipimpin oleh Paulus De Back dengan menumpang secara khusus
kapal Chialoup De Noorman. Sekali lagi Paulus De Beck bertemu dengan Sultan
Sinom Pani Panggung Ing Martapura, tetapi tidak berhasil mengadakankan hubungan
dagang (J. Eisenberger 1936:9).
Selain usaha
mengadakan hubungan langsung dengan Kutai dan Pasir, kompeni berusaha juga
melemahkan perdagangan antara Kutai dan Pasir dengan
Makassar dan Jawa di perairan Selat Makassar.
Walaupun
beberapa misi perdangan ke kalimantan belum membawa hasil, kompeni tetap
melanjutkan usaha-usahanya melalui surat menyurat yang ditunjukan kepada
raja-raja Kutai dan Pasir. Usaha ini agaknya membawa hasil, karena pada
tahun-tahun berikutnya, banyak barang-barang dari Kutai dan Pasir ditawarkan ke
Makassar (Eisenberger 1936:9).
Pengangkutan
barang-barang dagangan itu dilakukan oleh pedagang-pedangang Bugis pengikut Aru
Palaka yang menjadi sekutu kompeni, yang sejak 1668 mulai bermukiman di Kutai
sekitar Samarinda Seberang.
Ketika
perantau-perantau Bugis Wajo bermukiman di Pasir dan di Kutai, terutama Samarinda
Seberang, perdadangan Kutai dengan kompeni mulai terputus. Terjadilah
persaingan antara pelaut-pelaut Bugis Wajo dengan Bugis Bone yang didukung oleh
kompeni.
Pada tanggal 6
November 1736 rakyat mengangkat La Maddukelleng menjadi raja Wajo sampai tahun
1754, namun demikian armadanya masih menguasai Selat Makassar dan pengikut
-pengikut masih bermukim di Pasir dan Kutai terutama di Samarinda Seberang.
Sesudah misi
perdagangan 1747 yang dipimpin oleh Van Der Heyden, kompeni tidak lahi
mengirimkan kapal-kapal dagangannya ke Kutai dan Pasir. Sampai jatuhnya tahun
1899, VOC tidak pernah berhasil mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan
dikawasan ini. Demikian pula tidak ada perwakilan dagang atau pembesar VOC yang
tinggal menetap di kedua kerajaan itu.
Dengan
demikian mudah dimengerti jika dalam sejarah VOC di Kalimantan tidak terdapat
tulisan-tulisan mengenai keadaan Samarinda Kota maupun Samarinda Seberang,
karena kemungkinan Pelabuhan yang terkenal pada zaman VOC bukan Samarinda,
tetapi Kutai Lama yang juga pusat Pemerintahan Kerajaan Kutai.
D. SEJARAH LA MOHANG PERJALANAN
DAENG MANGKONA
La Mohang
Daeng Mangkona adalah seorang tokoh penting dalam cikal-bakal berdirinya Kota
Samarinda di provinsi Kalimantan Timur saat ini. Daeng Mangkona mendirikann
permukiman di Tanah Rendah bersama rombongannya dari tanah Wajo pada tahun 1668
dan dari situlah awal mula perkembangan Kota Samarinda.
La mohang
Daeng Mangkona bersama rombongan dari Wajo memilih meninggalkan kampung
halamannya dari pada harus tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda pada waktu
itu sudah menguasai kerajaan Gowa akibat perjanjian Bongaya. Daeng Mangkona
memilih daerah Pulau Borneo dan singgah di wilayah kesultanan Kutai Kartanegara
Ing Martadipura. Setelah meminta izin pada Sultan Kutai waktu itu ( Pangeran Dipati
Modjo Kusumo), Daeng Mangkona beserta rombongannya diizinkan untuk menetap
disuatu daerah bernama tanah rendah. Sejak itulah, daerah tanah rendah didiami
oleh Daeng Mangkona mengembangkan daerah Tanah Rendah menjadi sebuah pusat
perdagangan maupun sebagai Pelabuhan singgah.
Hari lahir
kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 dan pada itu pula
dijadihan hari memperingati wafatnya Daeng Mangkona. Pada tanggal tersebut yang
metupakan tanggal kedetangan La Mohang Daeng Mangkona yang mula-mula membangun
kota (Samarinda Seberang sekarang). Pada tahun 1665, rombongan orang-orang
Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona ( bergelar Pua Ado) hijrah
dari tanah Gowa ke kesultanan Kutai. Mereka hijrah keluar pulau hingga Kesultanan
Kutai karena tidak mau tunduk dan patuh terhadap perjanjian Bongaya setelah
kesultanan gowa kalah akibat diserang pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang
Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima baik oleh Kesultanan Kutai.
Sekitar tahun
1668, Sultan yang dipertuakan kerajaan Kutai memeritah Pua Ado bersama
pengikutnya yang asal Tanah Sulawesi membuka perkampunga di Tanah Rendah.
Pembukaan perkampungan ini dimaksud sultan kutai, sebagai daerah pertahanan
dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan
berbagai daerah pantai wilayag Kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan
yang dikenal bijaksana ini emang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat
bugis yang mencari suaka kekutai akibat peperangan didaerag asal mereka.
Perkampunagn tersebut oleh sultan kutau diberi nama sama rendah. Nama ini
tentunya bukan asal sebut sama rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik
asli maupun pendang, berderajat sama tidak ada perbedaan antara orang Bugis,
Kutai, Banjar dan Suku lainnya.
Dengan rumah
rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang
lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak,
“sama” derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungau yang
berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau “rendah”. Diperkirakan dari
istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Sama Rendah lama
kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan
lahan atau lokasi yang terdiri atas daratan rendah dan daerah pesawahan yang
subur. Warga Bugis Wajo itu dalam perantauannya tetap melestarikan budaya
leluhur untuk menenun kain secara tradisional atau “ alat tenun bukan mesin”.
MAKAM LA MOHANG
DAENG MANGKONA
Makam La Mohang Daeng Mangkona
Referensi Bacaan ;
1. Dachlan, Oemar, H. 2000. Kalimantan
Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa
Bersejarah yang Mewarnainya, Jakarta: Yayasan
Bina Ruhui Rahayu.
2. Koentjaraningrat, dkk. 1999. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.
3. Supeno, Ahmad. 2015. Kamus Praktis Bahasa Indonesia,
Yogyakarta: Pyramida.
4. Ars, Moh. Nir, dkk.
1986. Sejarah Kota Samarinda, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar