NAMA : DEWI PUSPITA NINGRUM
NIM : 1614015009
FAKULTAS/PRODI : ILMU BUDAYA/SASTRA INDONESIA
PENGADILAN PUISI
Sejak tahun 50-an hingga sekarang, agaknya kesusastraan Indonesia modern selalu diwarnai oleh perdebatan/polemik yang menyangkut berbagai hal. Kita misalnya dapat mencatat perdebatan/polemik mengenai : (1) ada tidaknya krisis dalam sastra Indonesia, (2) “ Plagiat” Chairil Anwar, (3) novel Hamka Tenggelamnya kapal van der wijck, (4) Manifes Kebudayaan, (5) Cerpen Kipanjikusumin “ Langit Makin Mendung”, (6) Metode Kritik Sastra, (7) ada tidaknya Angkatan ‘66 dalam sastra Indonesia, (8) Pengadilan Puisi Mutakhir, (9) Peranan sastra dalam perubahan sosial, (10) Angkatan ‘70 atau Angkatan ‘80 dalam sastra Indonesia, (11) sastra kontekstual, dan lin-lain.
Buku ini bermula dari salah satu perdebatan tadi, yaitu Pengadilan Puisi Mutakhir. “ Pengadilan” yang diselenggarakan Yayasan arena ini diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang Indonesia. Dalam acara ini Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai “Jaksa” membacakan “tuntutan”-nya yang berjudul “ Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia Akhir-akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Menurut Sapardi Djoko Damono, gagasan asli Pengadilan Puisi datang dari Darmanto pada tahun 1970 dan dimaksudkan sebagai badutan. Pada tahun 1972, Darmanto mengumumkan gagsan itu dalam karangan yang berjudul “ Tentang Pengadilan Puisi” di sebuah harian Jakarta. Dan baru pada tahun 1974-lah gagasan itu bisa diwujudkan di Bandung (Dalam pengadilan Puisi ini Darmanto bertindak sebagai “Hakim Anggota”.
Jika kita membaca tulisan Darmanto Jt maupun tulisan (“ tuntutan”) Slamet Kinanto yang disebut diatas, secara tersirat maupun tersurat terasa di dalamnya Ketidakpuasan terhadap kehidupan Puisi Indonesia pada saat itu. Ketidakpuasan itu antara lain menyangkut: (1) Sistem penilaian terhadap puisi Indonesia, (2) Kritikus sastra Indonesia, (3) media yang memuat karya satra Indonesia, dan (4) beberapa penyair Indonesia yang di anggap “mapan”.
Polemik(perdebatan) antar Penyair Indonesia
Harian kompas 4 september 1974 menyiarkan acara baca puisi di Bandung itu, yang dikabarkan akan disertai penyair-penyair bandung (Wing Kardjo, Sanento Yuliman, Saini K.M., Sutardji) dan luar kota yaitu Muhammad Ali (Surabaya), Darmanto Jt ( Semarang), Umbu Landu Paranggi ( Yogyakarta), Taufiq Ismail dan Slamet Kirnanto ( Jakarta).” Selain Pembacaan puisi juga akan diadakan pengadilan Puisi,” tulis kompas , “ yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia Modern, yang ditulis oleh penyair-penyair kita”. Acara itu terbuka untuk umum. Dengan pendadilam yang berbentuk lucu, tidak menjemukan, tapi bersungguh-sungguh. Konon menurut gagasan Darmanto, bentuk pengadilan puisi bisa memenuhi persyaratan. Demikian Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili ; ada jaksa yang mendakwa, ada pembela yang menangkis dakwaan, ada orang-orang yang memberikan kesaksian dan tentu saja kemudia ada hakim yang memutuskan.
Slamet Kinanto rupanya yang dijadikan jaksa. Majelis hakim terdiri dari dua orang, yaitu hakim ketua Sanento Yuliman, didampingi hakim Darmanto Jt. Dan sejumlah saksipun sudah di pilih, sedangkan untuk pembela telah disepakati Bung dengan pendamping Handrawan Nadesul.
Para hakim sudah duduk (meja mereka ditutup beledu hijau tapi palu sidang tak ada, jadi pakai batu dengan dibumgkus koran), jaksa dan pembela begitu pula, serta hadirin sekitar 200 orang di Aula Universitas Parahyangan itu.
Slamet kirnanto membacakan tuntutannya, yang di luar dugaan saya, sudah siap ditulis beberapa folio tik, tapi tidak dibagikan kepada pembela. Judulnya dengan semangat Zola 76 tahun yang lalu, paling pada dua kata pertama; “ saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia akhr-Akhir ini tidak sehat, Tidak jelas dan Brengsek!”
Tuntutan tersebut Berbunyi : pertama , para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi Mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, harus “ dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. Kedua para editor majalah sastra, khususnya Horison (sapardi Djoko damono) dicuti besarkan. Ketiga, para penyair mapan seperti subagio, rendra, goenawan, dan sebangsanya dilarang menulispuisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan, kemudian inkarnasinya dibuang pula ke pulau paling terpencil. Keempat dan terakhir, Horison dan Budaya Jaya harus di cabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk dibaca peminat sastra masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Ini semua didasarkan atas “kitab Undang-Undang Hukum Puisi”.
Sebuah kursi kosong tertetak di tengah ruangan pengadilan, tempat duduk terdakwa yang tak berjasad: Puisi Mutakhir Indonesia. Tapi semua orang lupa dan saksi-saksi pun bergantian saja menduduki kursi terdakwa itu, sesudah menyeretnya ke sana kemari. Barangkali ini mengandung perlambangan juga pada pengadilan itu: orang jadi lupa pada isi puisi itu sendiri, tapi lebih mencereweti serta bernyindir-nyindir tentang orang-orangnya( penyair, kritikus, diri sendiri secara langsung atau tidak langsung) dan tentang mediumnya.
Pada berlangsungnya acara ini saksi ada dua macam, yamg memberatkan dan yang meringankan tuduhan terhadap pesakitan: golongan pertama adalah Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan pamusuk Eneste, kemudian golongan kedua saini K.M., Wing Kardjo, Adri Darmandji dan Yudhistira Ardi Noegraha.
Dan pada akhirnya para hakim membuat keputusan dengan mengindahkan kitab undang-undang hukum puisi, mempertimbangakan hukum adat setra membaca cerita adat.
Dan beginilah bunyi keputusannya:
Pertama, para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembagkan kegiatan serta meneruskan eksintensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam sekolah kritikus sastra, yang akan segera didirikan.
Kedua, para redaktur Horizon tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri mereka boleh mengumdurkan diri.
Ketiga, para penyair mapan, established. Masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam panti asuhan atau rumah perawatan epigon.
Keempat, majalah sastra Horison tidak perlu dicabut surat izin cetak dan surat izin terbitnya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “baru”, sehinga menjadi horison baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.
Demikianlah keputusan majelis hakim.
Setelah Slamet Kinanto menyampaikan karikatur-karikaturnya mengenai ruang kehidupan puisi Indonesia besetra para epigon yang dianggap mengekor pada puisi Chairil, Sitor, Toto Sudarto dan Rendra yang dianggap sebagai gejala yang tidak sehat yang menyebabkan menghambat pertumbuhan kreativitas. Dan pada akhirnya berdasarkan KUHP ( Kitab undang-undang hukum puisi), seperti yang terjelma dari pasal demi pasalnya yangmerupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; selaku jaksa penuntut umum dalam “Peradilan Puisi Kotemporer” mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi Mutakhir, khususnya H.B Jassin dan M.S Hutagalung harus “ dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison ( Sapardi Djoko damono) dicutikan.
3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya (dan lain-lain) di larang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi ingkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horisin dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT” nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
Beberapa polemik dan karikatur yang dibahas oleh Slamet Kinanto tentang beberapa pandangan-pandangan dan kritikannya terhadap penyair HBJ dan MSH, pada akhirnya M.S Hutagalung mengambil beberapa kesimpulan jawaban yang ditujukan untuk Slamet Kinanto yang berjudul “ Puisi Kita Dewasa Ini” pada “Pengailan Puisi” yang diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pandangan- pandangan Slamet Kinanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenearnya bagi generasi muda, terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehat bagi perkmbangan kesusastraan kita khususny, kebudayaan kita umumnya.
2. Ia berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Ia mengatakan sudut pandang Kinantolah yang brengsek. Dan ia tidak sependapat dengan pandangan Kinanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B Jassin dan M.S Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agar mereka sebagai “ pengarah” Sastra Indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.
Buku Pengadilan Puisi
Referensi Bacaan;
1. Eneste, Pamusuk. 1986. Pengadilan Puisi, Jakarta: Gunung Agung.
2. Supeno, Ahmad. 2015. Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Pyramida.
Komentar
Posting Komentar